Sabtu, 27 September 2014

Dengan Puisi, Aku

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.




Karya : Taufiq Ismail (1965)

Sebab Bagai Angin

Jangan pergi. Sebab bagai angin
aku selalu bersama arah. Tak ada yang bisa
sembunyi dari rindu batinku.

Jangan pergi. Sebab bagai angin
kelak aku sampai di negeri yang ditujumu.
Mungkin lebih dulu

Biarkan kulabuhkan sampan lempungku
di tepian telaga
bening matamu itu


Karya : Cecep Syamsul Hari (1991-1992)

Sajak Anak Petani

Selepas musim penghujan, kupandangi saja para petani
dan bapakku yang begitu asyik memanen kesedihan
di antara butir-butir padi yang tak pernah cukup
untuk menumbuhkan anak-anaknya, mekar berbunga
di ladang nasib dan hari depan.

Maka akupun duduk-duduk saja mencangkungi derita
dan impianku sendiri setelah letih bercocok tanam harapan
di bangku-bangku sekolah berdebu dan sunyi dari kehidupan.
Selepas musim penghujan,

sebagaimana selepas musim ujian, aku termangu
seperti bapak-bapakku memandangi langit, terbentang indah
seperti pipi nasib yang lebam membiru.



Karya: Agus R. Sarjono (1996-1997)

Chairil

Pada kereta hujan
Chairil menebal jendela
cinta dan bahagia
makin jauh saja
mendengking Chairil
mendengking kereta
sayatan terus ke dada
Pada senja di pelabuhan kecil
kau datang padaku: Chairil
cinta insani di tangan kiri,
Amir Hamzah cinta Illahi
ditangan kanan
dengan pandangan memastikan
: untukku. Aku membisu
dicakar gairah dan cemas
bertukar tangkap dengan lepas.
Aku hilang bentuk 
remuk. Seharian itu
kita tidak bersapaan. Oh puisi
yang enggan memberi
mampus kau
dikoyak-koyak sepi.
Kekasih, dengan apakah
kita perbandingkan pertemuan kita
: dengan Amir sepoi sepi
atau Chairil menderai sampai jauh?
Kini habis kikis segala cintaku
hilang terbang, kembali sangsai
seperti dahulu di nyanyi sunyi
di buah rindu.

Amirlah kandil kemerlap
pelita Chairil di malam gelap
ketika dada rasa hampa
dan jam dinding yang berdetak.
Aku sendiri, menyusur kata-kata
masih penyap harap. Apatah kekal
kekasihku, airmata yang kenduri
di riuh nadi di gamang jiwa
sedang cerlang matamu
tinggal kerlip puisi
di malam sunyi.
Chairil dam Amir
di pintumu puisi negeriku mengetuk
mereka tak bisa berpaling.
Karya : Agus R.Sarjono (2009)

Sajak Palsu

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu.
Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu.
Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi perhatian dan rasa hormat palsu.
Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru dan ibu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru.
Masa ssekolah demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir sebagai ekonom-ekonoom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu.
Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu.
Mereka saksikan ramainya perniagaan palsu dengan ekspor dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus dan hadiah-hadiah palsu, tapi diam-diam meminjam juga pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri yang dijaga pejabat-pejabat palsu.
Masyarakat pun berniaga dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam nasib buruk palsu.
Lalu orang-orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu di tengah seminar dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu


Karya : Agus R. Sarjono (1998)

Biografi Agus R. Sarjono

Agus R. Sarjono, lahir di Ban­dung, 27 Juli 1962. Menyelesaikan studi pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Bandung; dan Kajian Sastra, Fakultas Ilmu Budaya UI. Se­ma­sa mahasiswa ak­tif di Unit Pers Ma­ha­sis­wa IKIP Ban­dung se­ba­gai ke­­­tua (1987-1989). Me­­nu­lis sajak, cer­pen, dan esai yang dimuat berba­gai koran, majalah, dan jurnal ter­ke­mu­ka di Indo­ne­sia,
Ma­lay­­sia, dan Brunei Darussa­lam. Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Ing­gris, Belan­da, Perancis, dan Jerman, serta dimuat di jurnal ne­geri-negeri tersebut.
 Berkali-kali Agus diundang pula menjadi pema­kalah di ber­bagai event sastra, antara lain: “Mim­bar Pe­nya­­ir Abad 21″, di TIM (1996); “Pertemuan Sastrawan Nusan­­tara IX/Per­te­mu­an Sastra­wan Indonesia 1997″, di Suma­tera Barat; “Per­temuan Sas­tra­­wan Nusantara X/Per­te­mu­an Sastrawan Malaysia I”, di Johor Bahru (1999); dll. 

KARYA:
 Puisi
1. Kenduri Air Mata (1994; 1996)
2. A Story from the Land of the Wind (1999, 2001)
3. Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001; 2003)
4. Frische Knöckhen aus Banyuwangi (dalam bahasa Jerman, 2002)
5. Diterbangkan Kata-Kata (antologi puisi, 2006)
6. Kepada Urania (terjemahan karya Johpseph Brodsky, 1998)
7. Impian Kecemburuan (terjemahan karya Seamus Heaney, 1998)

Referensi :
 https://www.google.co.id/search?q=biografi+agus+r+sarjono&ie=utf-8&oe=utf-8&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-beta&channel=fflb&gws_rd=cr&ei=S54nVPOGOIaHuASJgIGgAQ#
https://sites.google.com/site/sastrawanindonesia/home/biografi-agus-r-sarjono

Apakah Kita Sudah Merdeka

Pada hari ulang tahun kemerdekaan, seorang kakek duduk di depan televisi.
Ia menonton siaran langsung, peringatan hari proklamasi.
Matanya mencoba menembus waktu. Dan hatinya nampak menyala.
Ia ikut menyanyi ketika terdengar lagu-lagu perjuangan.
Tiba-tiba cucunya mnedekat. Ia memandang orang tua itu lama, lalu bertanya.
" Kek, apa aku boleh menanyakan sesuatu?"
Kakek mengendorkan suara televisi, lalu menoleh.
" Tentu saja. Kamu mau menanyakan apa, De?"
" Tapi aku takut, nanti Kakek marah."
" Kenapa marah? Bertanya itu tidak dilarang. Itu tandanya kamu kritis. Apa pertanyaan kamu?"
"Tapi nanti Kakek marah."
" He, dengerin, tidak bertanya padahal kamu mau bertanya, itu yang bisa bikin kakek marah. Duduk sini dan tanyakan apa yang belum kamu tahu?"
Cucu yang mau bertanya itu duduk di samping kakek. Tapi ia masih ragu.
" Ayo cepat, jangan seperti bapakmu yang selalu ragu-ragu itu. Tanyakan saj apa? Kakek akan jawab kontan sekarang."
"Apakah?
"Apakah apa?"
"Apakah kita?"
"Apakah kita apa?"
"Apakah kita betul sudah merdeka?"
Kakek terkejut.
"Apa?"
"Apakah kita sudah . . .?"
Tiba-tiba darah kakek bergumpal ke atas kepalanya. Mukanya merah. Badannya gemetar. Ia tidak mampu lagi menguasai emosi. Lalu ia berdiri dan menggebrak.
"Gila! Siapa yang sudah mengajarakan kamu menanyakan pertanyaan yang kurang ajar itu? Ah? Apa kamu tidak pernah dibelajarkan oleh guru-guru kamu di sekolah, bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945, jam 10 pagi di Pegangsaan Timur, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Kami bangsa Indonesia, dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, akan diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno-Hatta.Sejak itu sang saka merah putih berkibar di angkasa dengan perkasa dari Sabang sampai Merauke, sampai sekarang!"

"Kalau betul kita sudah merdeka, kenapa kita masih miskin? Kenapa kita tidak punya mobil seperti orang-orang itu? Kenapa kita tidak punya rumah bagus di real estate? Kenapa kita masih makan tempe-tahu, kadang-kadang hanya garam, setiap hari? Kenapa kita mesti bayar uang sekolah? Kenapa kita tidak kaya? Kenapa?"
" Diam! Aku tahu apa yang mau kamu bilang! Kenapa kita tidak bebas dari kemiskinan? Mengapa kita tidak bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme, kenapa kita tidak bebas dari teror? Mengapa hukum kita memble? Mengapa tidak ada keadilan? Mengapa kita berbeda-beda? Mengapa tidak ada kebenaran, kesejahteraan dan kenyamanan?"
"Dan mengapa kita tidak bebas bicara?"
"Aku tahu! Koran, radio, televisi, buku-buku, pidato, guru-guru palsu dan para provokator itu sudah mencuci otak kamu. Kamu sudah dihipnotis supaya bertanya apa kita sudah merdeka. Dengar, buka mata dan telinga kamu. Duduk yang bener, biar kakek jawab. Kalau kita merdeka jangan kamu pikir dengan sendirinya kita akan makmur, kaya, pintar, segar dan bahagia. Kalau kamu merdeka, berarti tidak ada lagi yang menjaga, melindungi dan menyuapi kamu. Kalau kamu sakit kamu harus berobat sendiri, kalau kamu jatuh, kamu harus bangkit sendiri, tidak ada yang menolong. Kalau kamu lapar, kamu harus cari makan sendiri. Kalau kamu mau kaya, sukses, makmur, kamu harus berjuang sendiri. Dan jangan salah. Kalau kamu merdeka, tetangga, orang-orang di sekitar kamu, semua kawan-kawan kamu termasuk pembantu kamu juga merdeka. Kalau kamu merdeka, kemerdekaan kamu dibatasi oleh kemerdekaan semua orang-orang itu. Jadi kalau kamu merdeka, sebenarnya kamu tidak merdeka! Mengerti?
"Tidak."
"Mengerti?"
"Tidak!"
"Nah, dengan mengatakan tidak, berarti kamu sudah merdeka. Orang yang tidak merdeka, tidak berani dan tidak akan bisa mengatakan tidak!"
Mata cucu kakek bersinar. Dia memandang kakeknya dengan gembira.
"Jadi kalau begitu kita benar-benar sudah merdeka? Kita betul sudah merdeka?"
Kakek tertegun. Anak itu meloncat ke atas kursi dan bersorak.
"Horeee kita sudah merdeka! Kita betul sudah merdeka!"
Di televisi nampak bendera sang saka sedang dikerek naik ke puncak tiang. Tiba-tiba kakek terlempar ke masa revolusi, ketika ia berjuang melawan pemerintahan kolonial. Keluar-masuk hutan.
Siang diburu, Diuber-uber, malam menyerang. Tak peduli jiwa raga, demi memperjuangkan kemerdekaan, kakek terus berjuang. Teman-temannya hampir semua gugur. Ia sendiri tertembak, hanya karena nasibnya masih untung ia bisa selamat. Hanya saja kakinya pincang untuk selamanya. Baru sesudah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan, kakek keluar hutan. Ia meletakkan senjatanya dan kembali menjadi petani. Tetapi di zaman merdeka, ia terkejut ketika menengok ke atas. Ia lihat begitu banyak yang keliru. Orang-orang yang dulu berpihak kepada penjajah, sekarang malah nampak menkmati kemerdekaan. Mereka kaya, sejahtera dan berkuasa. Dengan kesal kakek berangkat ke Jakarta untuk melaporkan bahwa orang-orang itu harus di seret ke pengadilan. Tapi belum sempat bicara, baru menapakkan kaki di ibukota, kakek ditangkap. Ia dijebloskan ke penjara di anggap sebagai pelaku subversif. Baru setelah tua bangka ia dibebaskan ketika sudah tak sanggup lagi berbuat apa-apa.
"Jadi kita benar-benar sudah merdeka, kek?"
Kakek membisu. Badannya gemetar menahan emosi.
"Jadi kita betul-betul sudah merdeka, Kek?"
Kakek tidak bisa menjawab. Cucu memeluk kakek dengan semangat
"Jadi kita sudah merdeka, Kek?"
Airmata kakek tidak bisa lalu dibendung, berjatuhan dari pelupuk matanya. Cucu terkejut. Ia melepaskan pelukan dan mengusap mata kakek.
"Kakek menangis?"
Tangis kakek semakin bertubi.
"Kenapa kakek menangis? Kalau betul kita sudah merdeka mestinya kakek tertawa!"
Kakek tak sanggup lagi menahan diri. Ia tersedu-sedu. Cucu terperanjat.
"Lho, kalau Kakek menangis, berarti semua bohong! Jadi kita betul-betul belum merdeka seperti kata orang itu?"
Cucu melepaskan pelukannya dengan kecewa. Tapi kakek cepat memegang sembari menatap mata cucunya dengan lembut.
"Ya kakek menangis. Tapi ukan karena kita belum merdeka. Kakek menangis karena kita sudah merdeka. Hnaya orang yang benar-benar sudah merdeka yang dapat menangis kapan saja dia mau menangis! Hanya orang yang merdeka yang mampu melihat negerinya belum merdeka. Hanya orang yang betul-betul merdeka yang berani mengakui bahwa dia belum merdeka!"
Kakek memeluk cucunya. Di televisi terdengar lagu Satu Nusa Satu Bangsa.




Karya : Putu Wijaya