Sabtu, 27 September 2014

Apakah Kita Sudah Merdeka

Pada hari ulang tahun kemerdekaan, seorang kakek duduk di depan televisi.
Ia menonton siaran langsung, peringatan hari proklamasi.
Matanya mencoba menembus waktu. Dan hatinya nampak menyala.
Ia ikut menyanyi ketika terdengar lagu-lagu perjuangan.
Tiba-tiba cucunya mnedekat. Ia memandang orang tua itu lama, lalu bertanya.
" Kek, apa aku boleh menanyakan sesuatu?"
Kakek mengendorkan suara televisi, lalu menoleh.
" Tentu saja. Kamu mau menanyakan apa, De?"
" Tapi aku takut, nanti Kakek marah."
" Kenapa marah? Bertanya itu tidak dilarang. Itu tandanya kamu kritis. Apa pertanyaan kamu?"
"Tapi nanti Kakek marah."
" He, dengerin, tidak bertanya padahal kamu mau bertanya, itu yang bisa bikin kakek marah. Duduk sini dan tanyakan apa yang belum kamu tahu?"
Cucu yang mau bertanya itu duduk di samping kakek. Tapi ia masih ragu.
" Ayo cepat, jangan seperti bapakmu yang selalu ragu-ragu itu. Tanyakan saj apa? Kakek akan jawab kontan sekarang."
"Apakah?
"Apakah apa?"
"Apakah kita?"
"Apakah kita apa?"
"Apakah kita betul sudah merdeka?"
Kakek terkejut.
"Apa?"
"Apakah kita sudah . . .?"
Tiba-tiba darah kakek bergumpal ke atas kepalanya. Mukanya merah. Badannya gemetar. Ia tidak mampu lagi menguasai emosi. Lalu ia berdiri dan menggebrak.
"Gila! Siapa yang sudah mengajarakan kamu menanyakan pertanyaan yang kurang ajar itu? Ah? Apa kamu tidak pernah dibelajarkan oleh guru-guru kamu di sekolah, bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945, jam 10 pagi di Pegangsaan Timur, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Kami bangsa Indonesia, dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, akan diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno-Hatta.Sejak itu sang saka merah putih berkibar di angkasa dengan perkasa dari Sabang sampai Merauke, sampai sekarang!"

"Kalau betul kita sudah merdeka, kenapa kita masih miskin? Kenapa kita tidak punya mobil seperti orang-orang itu? Kenapa kita tidak punya rumah bagus di real estate? Kenapa kita masih makan tempe-tahu, kadang-kadang hanya garam, setiap hari? Kenapa kita mesti bayar uang sekolah? Kenapa kita tidak kaya? Kenapa?"
" Diam! Aku tahu apa yang mau kamu bilang! Kenapa kita tidak bebas dari kemiskinan? Mengapa kita tidak bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme, kenapa kita tidak bebas dari teror? Mengapa hukum kita memble? Mengapa tidak ada keadilan? Mengapa kita berbeda-beda? Mengapa tidak ada kebenaran, kesejahteraan dan kenyamanan?"
"Dan mengapa kita tidak bebas bicara?"
"Aku tahu! Koran, radio, televisi, buku-buku, pidato, guru-guru palsu dan para provokator itu sudah mencuci otak kamu. Kamu sudah dihipnotis supaya bertanya apa kita sudah merdeka. Dengar, buka mata dan telinga kamu. Duduk yang bener, biar kakek jawab. Kalau kita merdeka jangan kamu pikir dengan sendirinya kita akan makmur, kaya, pintar, segar dan bahagia. Kalau kamu merdeka, berarti tidak ada lagi yang menjaga, melindungi dan menyuapi kamu. Kalau kamu sakit kamu harus berobat sendiri, kalau kamu jatuh, kamu harus bangkit sendiri, tidak ada yang menolong. Kalau kamu lapar, kamu harus cari makan sendiri. Kalau kamu mau kaya, sukses, makmur, kamu harus berjuang sendiri. Dan jangan salah. Kalau kamu merdeka, tetangga, orang-orang di sekitar kamu, semua kawan-kawan kamu termasuk pembantu kamu juga merdeka. Kalau kamu merdeka, kemerdekaan kamu dibatasi oleh kemerdekaan semua orang-orang itu. Jadi kalau kamu merdeka, sebenarnya kamu tidak merdeka! Mengerti?
"Tidak."
"Mengerti?"
"Tidak!"
"Nah, dengan mengatakan tidak, berarti kamu sudah merdeka. Orang yang tidak merdeka, tidak berani dan tidak akan bisa mengatakan tidak!"
Mata cucu kakek bersinar. Dia memandang kakeknya dengan gembira.
"Jadi kalau begitu kita benar-benar sudah merdeka? Kita betul sudah merdeka?"
Kakek tertegun. Anak itu meloncat ke atas kursi dan bersorak.
"Horeee kita sudah merdeka! Kita betul sudah merdeka!"
Di televisi nampak bendera sang saka sedang dikerek naik ke puncak tiang. Tiba-tiba kakek terlempar ke masa revolusi, ketika ia berjuang melawan pemerintahan kolonial. Keluar-masuk hutan.
Siang diburu, Diuber-uber, malam menyerang. Tak peduli jiwa raga, demi memperjuangkan kemerdekaan, kakek terus berjuang. Teman-temannya hampir semua gugur. Ia sendiri tertembak, hanya karena nasibnya masih untung ia bisa selamat. Hanya saja kakinya pincang untuk selamanya. Baru sesudah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan, kakek keluar hutan. Ia meletakkan senjatanya dan kembali menjadi petani. Tetapi di zaman merdeka, ia terkejut ketika menengok ke atas. Ia lihat begitu banyak yang keliru. Orang-orang yang dulu berpihak kepada penjajah, sekarang malah nampak menkmati kemerdekaan. Mereka kaya, sejahtera dan berkuasa. Dengan kesal kakek berangkat ke Jakarta untuk melaporkan bahwa orang-orang itu harus di seret ke pengadilan. Tapi belum sempat bicara, baru menapakkan kaki di ibukota, kakek ditangkap. Ia dijebloskan ke penjara di anggap sebagai pelaku subversif. Baru setelah tua bangka ia dibebaskan ketika sudah tak sanggup lagi berbuat apa-apa.
"Jadi kita benar-benar sudah merdeka, kek?"
Kakek membisu. Badannya gemetar menahan emosi.
"Jadi kita betul-betul sudah merdeka, Kek?"
Kakek tidak bisa menjawab. Cucu memeluk kakek dengan semangat
"Jadi kita sudah merdeka, Kek?"
Airmata kakek tidak bisa lalu dibendung, berjatuhan dari pelupuk matanya. Cucu terkejut. Ia melepaskan pelukan dan mengusap mata kakek.
"Kakek menangis?"
Tangis kakek semakin bertubi.
"Kenapa kakek menangis? Kalau betul kita sudah merdeka mestinya kakek tertawa!"
Kakek tak sanggup lagi menahan diri. Ia tersedu-sedu. Cucu terperanjat.
"Lho, kalau Kakek menangis, berarti semua bohong! Jadi kita betul-betul belum merdeka seperti kata orang itu?"
Cucu melepaskan pelukannya dengan kecewa. Tapi kakek cepat memegang sembari menatap mata cucunya dengan lembut.
"Ya kakek menangis. Tapi ukan karena kita belum merdeka. Kakek menangis karena kita sudah merdeka. Hnaya orang yang benar-benar sudah merdeka yang dapat menangis kapan saja dia mau menangis! Hanya orang yang merdeka yang mampu melihat negerinya belum merdeka. Hanya orang yang betul-betul merdeka yang berani mengakui bahwa dia belum merdeka!"
Kakek memeluk cucunya. Di televisi terdengar lagu Satu Nusa Satu Bangsa.




Karya : Putu Wijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar